Hidup Nggak Selalu Cerah, Tapi Kok Disuruh Senyum Terus?

Pernah ngga, kamu curhat tentang hari yang berat, capek kerja, mental drop, atau masalah keluarga? eh, malah dapat respons kayak gini, "Semangat dong!" atau "Lihat sisi positifnya!". Mungkin maksudnya baik, tapi kok bukannya lega, malah bikin kita merasa invalidated? Seolah emosi negatif kita itu "salah". Nah, inilah yang disebut toxic positivity, ketika positivity justru jadi bumerang karena memaksa orang untuk bahagia padahal yang mereka butuhkan cuma... didengar. 

Memang sih, bersikap optimis itu penting. Tapi hidup ngga selalu hitam-putih kadang kita perlu mengakui bahwa sedih, lelah, dan kecewa itu wajar. Masalahnya, toxic positivity sering menyamar sebagai "dukungan". Contoh klasik, 

"Jangan sedih lah, masih banyak yang lebih susah!" 

"Ah kamu lebay, itu kan cuma masalah kecil!" 

Padahal, dengan menyangkal emosi negatif, kita justru menunda proses healing. Seperti luka yang ditutup paksa tanpa dibersihkan dulu. 

Coba bandingkan dua respons ini saat temanmu gagal interview: 

"Lupakan! Yang penting kamu udah usaha!" (← Toxic positivity) 

"Waduh, pasti kecewa banget ya? Aku dengerin kalau kamu mau cerita." (← Empati) 

Yang pertama terburu-buru "menyelesaikan" masalah. Yang kedua memberi ruang untuk proses emosional dan inilah yang bikin orang merasa benar-benar didukung.

Intinya: Support isn’t about fixing feelings. It’s about honoring them.

Jangan salah, dampak toxic positivity itu serius: 

  • Orang jadi takut vulnerable karena takut dianggap "lemah". 
  • Emosi yang dipendam bisa jadi anxiety atau burnout. 
  • Relasi jadi dangkal karena semua harus "terlihat baik-baik saja". 

Ironis kan? Niat menghibur malah bikin orang semakin terisolasi dalam penderitaannya.

Bayangkan kalau setiap kali hujan, kamu marah-marah ke langit: "Aduh kok mendung sih! Harusnya cerah terus!". Ngga masuk akal, ya? Sama kayak emosi—kita ngga bisa memaksa diri untuk selalu sunny 24/7.  Justru dengan bilang "Aku lagi ngga baik-baik hari ini", kita memberi diri izin untuk istirahat sejenak sebelum bangkit lagi.

Next time ada teman yang struggling, coba teknik AED: 

  • Acknowledge (akui perasaannya): "Waduh, berat banget ya..." 
  • Empathize (tunjukin empati): "Aku ngerti kok kenapa kamu kesel." 
  • Depersonalize (jangan bawa ke diri sendiri): "Aku di sini buat kamu." 

No solutions needed. Kadang, kehadiranmu yang silent lebih berharga daripada seribu kata motivasi. 

Jadi, bersyukur itu baik, tapi jangan sampai jadi tuntutan. Ingat: 

Kamu boleh sedih tanpa harus dibandingkan dengan orang lain. Kamu boleh lelah tanpa harus merasa bersalah. Kamu boleh tidak okaydan itu tidak membuatmu gagal. 

Karena menjadi manusia itu bukan tentang selalu terbang di atas awan, tapi berani menginjak tanah ketika butuh. 



sumber gambar : www.freepik.com


Lebih baru Lebih lama